Just another free Blogger theme

Sunday, August 12, 2018

Perang Badr terjadi pada bulan Ramadhan setelah Hijah. Kaum kafir Quraisy di pimpin Abu Jahal bin Hisham. Perang ini dipicu oleh sekelompok kaum Muslim mencegat kafilah dagang Quraisy yang dipimpin Abu Sofyan yang dalam perjalanan pulang dari Syam. Maksud pencegatan itu adalah kaum Muslim ingin menuntut harta benda mereka yang disita orang- orang Quraisy di Mekkah sewaktu terjadi hijrah. Berita pencegatan kafilah dagang ini sampai ke telinga pemimpin- pemimpin Quraisy. Abu Jahal yang memang punya ambisi untuk melenyapkan Rasulullah beserta pengikutnya langsung merespon dengan mengirimkan seribu kekuatan untuk menyelamatkan kafilah sekaligus menghabisi kaum Muslim. Sebelum pasukan Quraisy sampai, kafilah dagang Quraisy berhasil meloloskan diri. Namun Abu Jahal tetap meneruskan perjalanannya untuk menghadapi pasukan Muslim dalam sebuah arena peperangan. Pasukan Muslim hanya berjumlah kurang lebih 319 orang dipimpin langsung Rasulullah. Perang pun terjadi di lembah Badr. Sejumlah tokoh- tokoh penting Quraisy tewas dalam perang itu, termasuk Abu Jahal. Perang akhirnya dapat dimenangkan oleh pasukan muslim yang hanya berjumlah kurang lebih 319 orang itu.  
*****

Pelajaran yang dapat kita ambil dari peristiwa ini adalah bahwa jumlah (kwantitas) bukanlah sebuah jaminan untuk sukses. Akan tetapi kwalitaslah yang menjadi jaminan tercapainya sebuah tujuan ataupun perjuangan. Dalam hal ini bukan yang kami maksud adalah perang, akan tetapi dalam setiap sektor kehidupan. Di zaman seperti sekarang ini, banyak kelompok yang bangga dengan banyaknya jumlah mereka, namun itu bukanlah jaminan. Dalam peristiwa Badr di atas, kelompok minoritas yang mampu mengungguli kelompok mayoritas adalah dengan adanya niat dan kesabaran. Maka dalam urusan kita di zaman sekarang ini hendaknya disertai dengan niat dan kesabaran. Dengan kata lain bahwa, kelompok minoritas mampu mengungguli kelompok mayoritas jika kelompok minoritas tersebut memiliki kesabaran dan niat yan baik.

Friday, June 8, 2018

Tinggal beberapa hari lagi bulan Suci Ramadhan akan tiba. Inilah bulan yang ditunggu oleh setiap muslim. Setiap muslim menyambutnya dengan penuh rasa syukur karena akan mendapatkan bulan penuh berkah ini. Dalam bulan ini semua amal ibadah akan dilipatgandakan pahala di sisi Allah. Namun jangan lupa bahwa semua perbuatan keburukan juga dilipatgandakan dosanya di sisi Allah. Oleh sebab itu seluruh kaum muslim ingin memaksimalkan ibadah dalam bulan ini. Mulai dari ibadah yang bersifat vertical, maupun ibadah- ibadah yang bentuknya social. Ada yang memaksimalkan salat sunnah, lalu malam harinya tahajjud dan tadarrus, ada pula yang berusaha untuk memberikan buka puasa kepada yang lain. Dan di akhir- akhir Ramadhan kita jumpai kaum muslim sedang berlomba- lomba memberikan sedekah kepada kaum dhuafah.
Namun terlepas dari itu semua ternyata puasa khususnya dalam bulan Ramadhan dapat mendidik kita untuk menjadi manusia yang lebih baik. Puasa didefenisikan sebagai menahan. Namun bukan hanya sekedar menahan haus dan lapar. Akan tetapi segala hal yang dapat membantalkannya. Hal ini memberikan pelajaran bagi kita untuk senantiasa menahan segala hal yang dapat menjerumuskan kita kearah yang negatif. Kita menahan haus dan lapar mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Hal ini mendidik kita untuk senantiasa bersabar. Namun bersabar bukan hanya menunggu datangnya waktu berbuka puasa, akan tetapi bersabar dalam segala hal dan bukan hanya pada bulan Ramadhan, melainkan disetiap waktu dan kesempatan. Berbeda dengan salat yang bisa disaksikan oleh orang- orang, menjalankan ibadah puasa tidak ada seorangpun yang tahu kalau kita sedang berpuasa kecuali Allah dan diri kita sendiri. Hal ini mendidik kita untuk berprilaku jujur. Kita semua tahu kalau terjadinya penyalahgunaan amanah karena menipisnya sifat jujur. Maka dari itu marilah kita memaknai ibadah puasa kita.
Dibeberapa tempat banyak saudara- saudara kita yang hidup dalam kemiskinan. Menyebut makanan saja susah, apalagi merasakannya. Maka ketika kita berpuasa disiang hari kita bisa merasakan apa yang dirasakan saudara- saudara kita. Hal ini mendorong kita untuk banyak bersedekah, entah itu dalam bentuk makanan buka puasa, maupun berupa uang. Karena ummat Islam itu bersaudara semua (ukhuwah Islamiyah). Malam harinya kita melaksanakan salat tarwih, semarak dakwah Islam terdengar disetiap masjid dan mushallah. Ini dapat menambah wawasan keilmuan kita. Kita pun semua tahu kalau salah satu hikma salat berjamaah adalah memupuk persatuan dan kesatuan diantara sesama muslim.
Dari hal- hal di atas, maka tujuan utama dari pelaksanaan ibadah puasa dan ibadah- ibadah lainnya dalam bulan Ramadhan adalah menjadikan setiap muslim sebagai orang yang bertaqwa (Surah al Baqarah, 2: 183). Dan ketika selesai bulan Ramadhan tetapi karakter- karakter di atas tidak kita miliki, maka inilah yang dikatakan bahwa orang- orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa haus dan lapar. Maka dengan demikian sungguh merugilah orang- orang yang kurang memaksimalkan ibadah puasanya di bulan Ramadhan.

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa hikma dari ibadah puasa dan ibadah- ibadah lainnya di bulan Ramadhan adalah terpelihranya prilaku sabar, jujur, peduli, amanah, rendah hati, dan kita pun menjadi manusia yang bertaqwa. 

Wednesday, May 2, 2018

Ada ungkapan yang mengatakan di balik kebesaran dan kesuksesan seorang pria atau suami, ada perempuan berjiwa besar di sampingnya. Ini bukanlah ungkapan keliru dan bukan pula penyemangat bagi para perempuan dalam mendampingi suaminya. Posisi perempuan (istri) di samping suaminya bukan hanya sekedar memberikan pelayanan secara maksimal sebagaimana peran istri, akan tetapi dia menjadi partner suami dalam menggerakkan bahtera rumah tangga yang mereka jalani. Mungkin cita- cita perempuan yang mereka anggap istimewa adalah menjadi ibu bagi anak- anaknya, mengasuhnya, dan membesarkannya. Akan tetapi lebih dari itu sejumlah peradaban menjadi besar yang dibangun oleh orang- orang besar yang tak lepas dari peranan perempuan.
Dalam sejarah Islam, dimasa jahiliyah sering kita menjumpai kisah- kisah sejarah. Bahwa seorang bapak yang mengetahui istrinya melahirkan bayi perempuan maka dia sangat malu dan akhirnya bayi- bayi itu di kubur hidup- hidup. Dan masih banyak lagi kisah- kisah yang kita dengar yang seperti itu. Menurut hemat kami, barangkali ini terlalu dilebih- lebihkan.  Memang perempuan pada saat itu kurang mendapat tempat karena yang paling kuat adalah kaum lelaki. Sehingga tokoh- tokoh Quraisy yang memiliki anak laki- laki dalam jumlah banyak  tampak merasa bangga. Sebut saja tokoh Quraisy seperti Walid bin Mughirah yang memiliki banyak anak laki- laki tampak menjadi sombong sehingga Allah menurunkan ayat al Qur’an yang membicarakan tentang perilakunya. Hal ini membuktikan bahwa perempuan pada saat itu lemah dan kurang mendapat tempat. Lalu Islam mengangkat derajatnya dengan menjadikan perempuan sebagai orang pertama menerima al Qur’an. Dan orang yang mati syahid pertama adalah seorang budak perempuan, Sumayyah.
Dalam sejarah peradaban ummat manusia kita bisa melihat peranan kaum perempuan yang berjiwa besar yang turut andil di dalam menentukan sejarah. Kita bisa melihat bagaimana kebesaran hati dan perjuangan seorang Sitti Hajar (ibunda Ismail, AS) ketika beliau berada di lembah Makkah yang pada saat itu belum ada kehidupan di sana. Tapi beliau tetap tabah membesarkan Ismail. Lalu betapa besar kesetiaan Sitti Khadijh RA dalam menemani dan mendampingi Rasulullah SAW sampai akhir hayatnya, sehingga setelah beliau meninggal, gangguan demi gangguan dari orang- orang Quraisy dialami Rasulullah. Dan tahun meninggalnya Sitti Khadijah RA dikenal dengan tahun kesedihan. Nabi bersabda: Allah membangunkan sebuah rumah di syurga. Dua perempuan ini harus menjadi panutan bagi para muslimah diseluruh dunia. Kita juga bisa melihat betapa besar keberanian Safiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah dari garis keluarga ayahnya. Beliau tidak gentar berhadapan dengan tentara- tentara Quraisy dan menjadi perempuan perisai Rasulullah dalam perang Uhud.
Dalam sejarah Indonesia sejumlah tokoh perempuan ikut berjuang baik pada masa penjajahan maupun pada masa sekarang. Sebut saja Cut Nyak Dhin, Cut Meutiah, Laksamana Malahayati, srikandi- srikandi dari Ace ini berjuang melawan Belanda. Sehingga mereka pun dikukuhkan sebagai pahlawan nasional. Dari Jawa ada Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika, dan lain- lain. Dari wilayah timur Indonesia, muncul pahlawan- pahlawan perempuan seperti Tenriabeng, Martha Christina Tiahahu, dan lain- lain. Mereka ini adalah perempuan- perempuan yang memainkan peran untuk Negara. Dan pada masa pergerakan kemerdekaan, Fatmawati, istri pertama presiden Soekarno, ibu Negara pertama, setia mendampingi Bung Karno dalam menyiapkan keperluan- keperluan untuk Indonesia merdeka.
Dan dimasa sekarang pun peranan kaum perempuan tetap nampak. Mereka memperjuangkan nasib masyarakt kelas bawah, baik melalui organisasi, maupun perorangan. Yang paling terkenal di kalangan para aktifis adalah Marsina. Beliau ini adalah seorang aktifis perempuan yang memperjuangkan nasib kaum buruh disebuah perusahaan. Lalu ada nama Mira Sumiati, presiden Aspek Indonesia juga memperjuangkan nasib kaum buruh. Beliau mengiginkan tenaga kerja lokal lebih diperhatikan.

Demikian tulisan kami semoga bermamfaat.

Saturday, April 21, 2018

Mungkin banyak orang yang bertanya ataupun meledek, “apa sich gunanya mendaki gunung. Emangnya nggak ada pekerjaan lain”. “daripada bertualang ke hutan, kan lebih enak ke mall”. “ahh bertualang, tinggal di tenda- tenda, kehujanan, kedinginan, mending tinggal di rumah aja tidur di kasur empuk”. Mungkin ledekan- ledekan seperti ini sering terdengar oleh para ‘pendekar’ petualang ataupun pendaki. Tapi biarlah.
Memang, manusia terdiri atas berbagai tipe. Ada yang hobby ke mall- mall, ke pantai, atau ke tempat- tempat hiburan. Adapula manusia yang suka bertualang, mendaki, dan lain- lain. Manusia tipe seperti ini di kelompokkan sebagai manusia pekerja dan memiliki rasa ingin tahu yang besar. Karena dengan mendaki gunung ataupun bertualang banyak pelajaran yang akan diperoleh.  Mendaki gunung sebenarnya adalah menaklukkan ego, melawan keangkuhan diri. Selama ini kita merasa hebat, bernyali besar, akan tetapi ketika kita melakukan pendakian, diri kita hanya seperti kawanan semut yang hanya mampu merayap diantara rimbunan pepohonan. Berarti tidak ada yang perlu disombongkan. Kita hanyalah manusia biasa yang tidak berdaya melawan alam apalagi melawan pencipta- Nya. Disanalah nyali kita teruji.
Mungkin selama ini di hati kita ada penyakit yang suka mementingkan diri sendiri atau egois, tetapi di tengah- tengah rimba sifat itu akan terbuang. Bayangkan! Ketika para pendaki sudah ada di tengah- tengah hutan rimba, tinggal di tenda- tenda, maka kondisi inilah yang mendidiknya untuk menghilangkan sifat egois yang selama ini bersarang di hatinya. Mendaki gunung dan bertualang mendidik dan melatih kita untuk peduli terhadap sesama. Bayangkan lagi! Ketika para pendaki sudah berjalan menyusuri lereng- lereng untuk sampai di puncak, ada teman yang kesusahan, maka segera di berikan pertolongan.
Mendaki gunung ataupun kegiatan petualangan lainnya mendidik kita untuk mandiri. Selama ini di rumah kita, mungkin kita tergantung kepada orang tua, tetapi di alam semuanya akan kita jalani sesuai dengan kondisi. Karena di alam tidak ada yang bisa kita lakukan sebagaimana saudara- saudara kita yang suka ke mall- mall. Tetapi semuanya ini akan membuat kita berpikir bagaimana seharusnya hidup dalam kekurangan.
Mendaki gunung dan bertualang akan membuat kita saling mengenal diantara sesama. Dalam situasi yang sedang dihadapi seperti lelah, haus, lapar, kedinginan, tersesat, dan lain- lain. Maka disitulah akan muncul karakter- karakter yang sebenarnya. Namun karakter- karakter negative akan hilang karena seiring dengan situasi dan kondisi yang dialami bersama.
Mendaki gunung akan membuat kita mengenal siapa pencipta gunung dan alam yang maha luas ini. Di atas puncak kita bertafakur dan memandang kesekeliling kita lalu kita sadar. Dan dari kesadaran itu akan muncul sifat rendah hati karena sebenarnya kita ini kecil di hadapan- Nya.


Monday, April 16, 2018

Salam Rimba!!!
Berjalan dengan semangat, menelusuri lembah dan lereng- lereng, lalu mendaki. Sampailah di puncak. Para ksatria mempersiapkan diri untuk menaklukkan sebuah tebing. Dan para penjelajah menelusuri hutan yang penuh tantangan.
Di atas, adalah sebagian kegiatan dari para pencinta alam. Kegiatan ini tidak asing lagi terdengar dikalangan para kaum muda yang mencari arti hidup, menempa diri, dan menyaksikan alam ciptaan Tuhan dari jarak dekat. Kegiatan demi kegiatan ini sungguh mengasyikkan, walaupun kegiatan tersebut beresiko apalagi di alam yang ekstrim dan cuaca yang ekstrim pula. Akan tetapi justru suasana yang seperti inilah yang dicari oleh para petulang. Para pendaki tidak akan mencari jalan mulus beraspal atau menghindari medan terjal untuk sampai di puncak. Para petualang sejati tidak akan menunggu hujan reda untuk memulai petualangannya. Sebaliknya para petualang mencari suasana- suasana yang menantang. Mungkin banyak orang yang memandang kondisi seperti ini adalah sesuatu yang sia- sia. Akan tetapi tahukah mereka bahwa semuanya ini adalah bentuk penempaan diri?
Sebelum memulai pendakian, para pendaki ini memantapkan niat. Dan ketika niat sudah mantap, maka akan sampai di puncak yang akan dituju. Niat itu menguatkan. Hal seperti ini akan nampak pada merek dalam kehidupan sehari- hari. Nilai- nilainya mereka implementasikan. Maksudnya adalah, orang- orang seperti ini sudah terbiasa. Sepengetahuan penulis, katakanlah dalam mencari pekerjaan, para ‘alumni’ petualang tidak mudah berputus asa dalam berusaha untuk menggapainya. Mereka tabah, sabar, dan tidak berputus asa dalam berusaha walaupun tantangan demi tantangan bahkan mungkin cemoohan setiap saat menghampirinya. Karena mentalitas mereka sudah terbentuk di alam yang terbuka. Mereka sudah tahan banting dan berani mengambil resiko. Dalam potongan bait ‘Sajak Rimba’ dikatakan: gunung adalah kehidupan, puncaknya adalah cita- cita, lerengnya adalah usaha. Maksudnya adalah kita mengumpamakan puncak gunung itu sebuah cita- cita yang masing- masing orang pasti memilikinya dan lereng- lereng gunung kita umpamakan sebagai sebuah usaha untuk menggapai cita- cita itu. Untuk menggapai cita- cita itu dibutuhkan jiwa yang besar dan semangat yang besar pula. Tentunya jiwa dan semangat yang besar haruslah ditempa di tempat penempaan.
Para pencinta alam yang ketika melaksanakan kegiatannya, entah itu pendakian, panjat tebing, dan lain- lain, mereka bisa saja kehabisan bekal. Dari kondisi ini mereka belajar untuk mandiri dan peduli terhadap sesama. Dewa 19 dalam lagunya ‘Mahameru’ menggambarkan suasana seperti ini dapat mengasa pribadi dan mengukir cita. Itulah sebabnya kader- kader pencinta alam tidak memiliki sifat egois, karena mereka sudah terdidik untuk peduli.
Kegiatan demi kegiatan dalam dunia ke- pencinta alam- an adalah pendidikan pembentukan karakter dan penempaan diri untuk menjadi manusia yang berjiwa besar. Walaupun ini bukanlah satu- satunya tempat bagi kita untuk menempa diri. Tapi alam adalah guru. Sebuah organisasi pencinta alam di salah satu Perguruan Tinggi mengambil motto “satu untuk alam, alam untuk semua, dari alam kita menempa ketabahan”. Marilah kita melihat sejarah. Nabi Muhammad SAW adalah panutan. Sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan Rasul, beliau menggembala kambing di tengah- tengah padang pasir yang sangat ekstrim untuk ukuran anak saat itu. Dan ini adalah proses dan pelatihan. Berkat pelatihan semacam inilah sehingga beliau tumbuh menjadi pribadi yang tabah, sabar, dan tekun serta berjiwa besar.
Demikian tulisan kami ini. 
(penulis adalah Pembina Organisasi Siswa Pencinta Alam)
*Bertualanglah! Karena dengan bertualang kau akan tau’ siapa dirimu!
*Mendakilah! Dan di atas puncak itu kau tafakur dan menyadari betapa kecilnya dirimu di hadapan- Nya.
*Janganlah berpikir indahnya sampai di puncak, tapi saksikanlah proses menuju puncak itu!
Inilah kita:
KSATRIA- KSATRIA RIMBA
Tapi ingat!
Hanya kepada Tuhanlah kita semua akan kembali

Salam Rimba!!!!!